dalamajaran Islam dan kedudukannya dalam ajaran Islam. Manfaat dari makalah “Kerangka Dasar Ajaran Islam”, yaitu: a. Memahami dan mangkaji mengenai Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak dalam ajaran Islam; b. Merefleksikan pemahaman yang didapat dalam kehidupan sehari-hari; c. Memahami kekeliruan-kekeliruan menyangkut Aqidah, Syari‟ah, dan
Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Apakah Membagi Ilmu Islam Menjadi Usul dan Furu, Bid'ah? Sun 11 November 2007 2228 Ushul Fiqih > Ijtihad views Pertanyaan Assalamu 'alaikumwr wb Ustad yang dirahmati oleh Alloh SWT Ana pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa membagi ilmu-ilmu Islam, seperti yang dijelaskan dalam bab Maqasit syari'ah adalah hal yang bid'ah, lalu kalau benar betapa sulitnya kita menentukan mana yang harus mendapat penekanan dan mana yang tidak perlu penekanan yang kuat, kalau jawabannya salah, maka apa ketentuan yang disepakati oleh ulama kita tentang mana yang furu dan mana yang usul, seperti contoh ibadah mahdoh seperti sholat adalah masuk katagori usul, tetapi untuk contoh, bagaimana persoalan kunut subuh belum selesai sampai saat ini. Mohon penjelasannya, dan atas perhatiannya saya ucapkan jazakumullohu khoiron katsiron. Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Terkadang memang aneh-aneh dan ada-ada saja pendapat yang muncul di tengah dinamika umat. Kita harus memaklumi, semoga tujuannya mulia. Namun kalau boleh sedikit berkomentar, seharusnya kita tidak boleh terlalu apriori dengan perkembangan ilmu-ilmu keIslaman. Sebab kalau kita mau kembalikan semua ke zaman nabi, tentu semuanya akan menjadi bid'ah. Termasuk pembagian tauhid menjadi tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma' wa sifat. Tidak ada satu pun hadits nabi yang menyebutkan ketiga macam tauhid itu. Dan kalau boleh meminjam logika di atas, pembagian tauhid menjadi tiga hal itu juga termasuk bid'ah. Sebab nabi SAW tidak pernah mengajarkannya. Demikian juga para shahabat dan salafusshalih. Ketiga istilah itu baru kita kenal sejak Muhammad bin Abdul Wahhab menulis kitab Tauhid. Dan beliau hidup di masa khalaf abad ke 18 M 1744 M. Apakah kita akan mengatakannya sebagai bid'ah yang sesat dan membuat siapa saja yang mempelajari tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai penghuni neraka? Rasanya kok tidak ya. Bahkan kalau kita mau jujur, istilah hadits shahih, hasan dan dhaif pun tidak pernah kita dengar di masa nabi masih hidup. Istilah itu baru kita kenal ratusan tahun kemudian setelah beliau SAW meninggal dunia. Para khalifah yang empat orang itu sama sekali tidak mengenal ilmu hadits dengan semua jenis istilah musthalah yang digunakan. Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa ilmu hadits dengan segala musthalahatnya adalah bid'ah? Apakah Syiekh Al-Albani itu juga sesat dan masuk neraka karena mengajarkan dan mengembangkan ilmu hadits yang di zaman nabi belum ada? Rasanya juga tidak kan? Dahulu sayyidina Umar radhiyallahu 'anhu pernah meminta kepada khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu untuk menuliskan dan membukukan Al-Quran, sesuatu tidak pernah Rasulullah SAW perintahkan. Mungkin kalau orang yang anda ceritakan itu menjadi Abu Bakar, boleh jadi Umar sudah dikatakan ahli bid'ah. Tetapi seorang Abu Bakar bukan tipe orang yang pendek akal dan sempit ufuk wawasan. Beliau terbuka dalam banyak hal termasuk untuk membuat terobosan membukukan Al-Quran. Demikian juga dengan para shahabat lainnya, mereka punya dasar fiqih yang kuat. Buktinya, ketika Abu Bakar kemudian benar-benar menjalankan proyek penulisan dan pembukuan Al-Quran, kita tidak mendengar ada komentar dari satu shahabat yang menuding beliau sebagai ahli bid'ah. Rupanya para shahabat di zaman itu justru jauh lebih luas wawasannya dan bisa membedakan manaajaran Islamyang asasi dan fundamental yang tidak boleh berubahdan mana yang sifatnya teknis belaka sehingga menjadi sangat fleksibel. Maka ketika para fuqaha membuat dasar-dasar ushul fiqih serta metode istimbath hukum, dengan segala istilah dan metodologinya, kita juga tidak mungkin menuduhnya sebagai bid'ah sesat. Dan ketika kita membagi ajaran Islam menjadi ushul dan furu', juga tidak bisa disalahkan. Karena kenyataannya memang ada masalah yang fundamental dalam agama, yaitu wilayah aqidah mendasar. Di mana bila seseorang punya pandangan ushul yang keliru, bisa dikategorikan sebagai orang sesat. Sedangkan dalam masalah furu', perbedaan pendapat sangat dimungkinkan terjadi, lantaran tidak ada dalil yang sharih eksplisit dan disepakat oleh semua ulama. Wilayah itu menjadi wilayah ijtihad dan kebenaran menjadi tidak mutlak. Kita menyebut wilayah ini adalah wilayah furu', di mana kesalahan dalam berijtihad di dalamnya tidak akan membawa pelakunya ke dalam jurang kesesatan atau masuk neraka. Alangkah tidak adilnya Allah SWT kalau Dia memasukkan hamba-Nya ke neraka lewat jebakan-jebakan kecil yang tidak jelas dalilnya. Dan alangkah naifnya seseorang ketika mengklaim bahwa hanya hasil ijtihad dirinya saja yang paling sesuai dengan kemauan Allah SWT, sementara hasil ijtihad orang lain selalu dianggap salah, batil dan tidak sesuai dengan kemauan Allah. Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, LcBaca Lainnya Mengapa Indonesia Memusuhi Israel Tapi Berteman dengan Komunis? 11 November 2007, 0044 Negara > Arus politik viewsApakah Wali Songo Termasuk Generasi Salafussaleh? 9 November 2007, 0056 Umum > Sejarah viewsSepupu, Antara Wali Nikah dan Bukan Mahram? 8 November 2007, 2224 Pernikahan > Wali views10 Kriteria Aliran Sesat 8 November 2007, 0055 Aqidah > Aliran-aliran viewsBolehkah Ayat Alqur'an Dijadikan Ringtone? 8 November 2007, 0055 Al-Quran > Hukum viewsBertanya Lagi Tentang Hak Waris Ibu 6 November 2007, 2259 Mawaris > Hak waris viewsApakah Tabungan Perlu Dikeluarkan Zakatnya? 6 November 2007, 2219 Zakat > Zakat Uang Harta Emas viewsHadits Tidak Boleh Menikahi Sepupu, Shahihkah? 6 November 2007, 2211 Hadits > Status Hadits viewsAliran Aliran Sesat di Indonesia 6 November 2007, 0907 Aqidah > Aliran-aliran viewsMengapa Palestina Kelihatan Lemah? 6 November 2007, 0119 Negara > Polemik viewsTawar Menawar Kewajiban Shalat 5 Waktu 5 November 2007, 0012 Hadits > Status Hadits viewsIklan Berwisata ke Israel, Bolehkah? 4 November 2007, 2219 Negara > Hukum Islam viewsJumlah Ayat Quran Bukan 6666 Ayat? 4 November 2007, 0219 Al-Quran > Mushaf viewsMelangkahi Kakak Perempuan Menikah 2 November 2007, 2123 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTentang Shalat Qobliyah Jumat 2 November 2007, 0042 Shalat > Shalat Jumat viewsMenukil Hadist Nabi Tanpa Perawi 1 November 2007, 2202 Hadits > Status Hadits viewsMajelis Dzikir, Bid'ahkah? 1 November 2007, 0845 Kontemporer > Bidah viewsBenarkah di Setiap Ayat Alquran Ada Khodam Jin? 1 November 2007, 0110 Al-Quran > Khazanah viewsPernikahan Rasulullah Saw dengan Aisyah Ra 31 October 2007, 0248 Pernikahan > Akad viewsMenikah Jarak Jauh 30 October 2007, 0120 Pernikahan > Nikah berbagai keadaan viewsTOTAL tanya-jawab 49,927,181 views Dankurang tepat kalau dibagi hanya semata masalah aqidah dan ibadah. Bukan begitu cara membaginya. Yang benar bahwa dalam tema aqidah pun ada masalah ibadah tetap ada yang Ushul dan ada yang furu'. Kedua, setiap masalah furu' itu dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Bukan hanya mungkin tapi bahkan kudu, musti atau wajib. Dan berbeda
DI DALAM masalah fiqh, terdapat ushul pokok dan furu’ cabang. Demikian pula di dalam masalah aqidah, terdapat ushul dan furu’. Walaupun tidak ada di zaman nabi masuk perkara baru, pembagian seperti ini diperbolehkan. Karena pada hakikatnya tidak bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. Pembagian ini berfungsi untuk memudahkan memeta atau mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan agama. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ mayoritas ulama’ dari masa ke masa sampai zaman kita sekarang ini. Dalam masalah fiqh, contohnya shalat fardhu yang lima. Hukum wajibnya shalat lima waktu, termasuk perkara ushul. Karena termasuk rukun Islam kedua setelah syahadat. Namun, masalah qunut Shubuh, dikeraskan tidaknya bacaan “basmalah” dalam shalat jarhiyyah, boleh tidaknya melafadzkan niat, lutut atau kaki dulu yang menyentuh lantai ketika turun sujud, duduk rekaat terakhir tawwaruk atau ifirasy, dan yang lainnya, termasuk perkara furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah-masalah ini. BACA JUGA Beribadahlah dengan Sungguh-sungguh kepada Allah Dalam masalah aqidah, contohnya adalah keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah termasuk masalah ushul. Karena termasuk rukun iman yang pertama. Namun masalah berapa jumlah asmaul husna nama-nama Allah yang baik, maka termasuk perkara furu’. Oleh karena itu para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang menyatakan terbatas 99 nama, dan ada yang menyatakan tidak terbatas. Beriman kepada adanya adzab qubur, termasuk masalah ushul agama. Akan tetapi masalah apakah yang diadzab ruh dan jasad, atau ruh saja, maka ini termasuk masalah furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini. Apa faidah mengklasifikasikan masalah agama menjadi ushul dan furu’? Untuk memudahkan menjelaskan hukum-hukum dan konsekwensinya. Seorang yang keliru di dalam masalah ushul, berbeda dengan seorang yang keliru dalam masalah furu’. Cara menyikapi perbedaan dalam masalah uhsul, berbeda dengan cara menyikapi perbedaan dalam masalah furu’. Seorang yang mengingkari wajibnya shalat lima waktu secara sadar, tahu, dan sengaja, dia telah keliru dalam masalah ushul. Ini akan berkonsekwensi hukum-hukum besar kepadanya. Seperti penetapan hukum kafir, sesat, hukum istitab permintaan untuk taubat jika tidak mau maka dibunuh, tidak bisa mewarisi dan mewarisakan harta, dan yang lainnya. Dalam hal ini, maka kita wajib berbeda dan tidak ada toleransi di dalamnya. Dan hak-hak sesama muslim tidak berlaku lagi di sini. Namun lain halnya dalam masalah qunut shubuh. Seorang yang berbeda dalam masalah ini, baik yang berpendapat disyariatkannya atau tidak, maka mereka tetap di dalam lingkup sebagai seorang muslim dan masih berstatus sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Karena hal ini termasuk masalah furu’. Harus tetap saling mencintai, menghormati, menghargai, tidak boleh menjadi sebab perpecahan, tidak boleh memaksakan dan berbagai hak-hak persaudaraan sesama muslim tetap kita tunaikan. Jika seorang menyikapi perbedaan pendapat di dalam masalah furu’ seperti menyikapi perbedaan dalam masalah ushul, maka ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Inilah pentingnya kita memahami pembagian seperti ini, untuk meminimalisir berbagai kesalahan dalam memahami hukum dan konsekwensinya. BACA JUGA Tiga Orang yang Tidak Diterima Ibadahnya Sebagian pihak ada yang menolak pembagian ushul dan furu’ secara mutlak. Ini pendapat yang tidak mu’tabar tidak diperhitungkan. Selain menyelisihi pendapat mayoritas ulama’, pada hakikatnya –secara tidak sadar- pendapat ini telah menolak fakta adanya hal ini ushul dan furu’ dalam agama. Sebagiannya ada yang bersandar kepada pernyataan-pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam menolak klasifikasi ini. Padahal, yang ditolak oleh beliau, bukanlah penolakan secara mutlak. Akan tetapi, dalam masalah definisi batasan-batasanya dan konsekwensi darinya yang tidak sejalan dengan syari’at. Wallahu a’lam bish shawab. Demikian coretan kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. [] Referensi -Masailu Ushulid Din Al-Mabhutsah fil Ushulil Fiqh – Dr. Khalid Abdul Lathif-Hushulul Ma’mul – Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al Amir-Ushul wal Furu’ – Dr. Sa’ad Asy-Syatsri Facebook Abdullah Al Jirani
AbuBakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Paket 2 DASAR-DASAR AKIDAH ISLAMIYAH Pendahuluan Perkuliahan pada paket ini difokuskan pada konsep dasar akidah islamiyy>ah. Kajian dalam paket ini meliputi bebeapa pembahasan yang terdiri dari dasar-dasar normative dan filosofis keimanan islam, istilah us}hul dan furu’ dalam islalm, kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam serta gambaran mengenai sikap inklusif dalam berakidah. Paket ini merupakan pembahasan lanjutan dari paket sebelumnya yang mempuyai keterkaitan serta saling berhubungan. Dalam Paket 2 ini, mahasiswa akan mengkaji mengenai landasan normative dan filosofis keimanan islam, mengidentifikasi masalah us}hul dan furu’ dalam islam, menganalisis kerangka berfikir berbagai macam aliran serta upaya menampilkan sikap inklusif dalam berakidah. Sebelum perkuliahan berlangsung, dosen akan menampilkan video yang menggambarkan berbagai macam hal yang berhubungan dengan dasar-dasar akidah islamiyyah sebagai bentuk motifasi dan abstraksi terhadap mahasiswa terkait ilmu yang akan dipelajari dan dikaji. Mahasiswa juga nantinya akan mempelajari dengan cara pemberian tugas serta mendiskusikannya dengan media/ panduan lembar kegiatan. Dengan dikuasainya dasar-dasar dari Paket 2 ini diharapkan dapat menjadi modal pemikiran dasar bagi mahasiswa untuk mempelajari paket selanjutnya dengan materi yang lebih dalam dan spesifik. Penyiapan media pembelajaran dalam perkuliahan ini sangat penting. Perkuliahan ini memerlukan media pembelajaran berupa LCD dan laptopsebagai salah satu media pembelajaran yang dapat menjadi sarana bagi kemudahan belajar para mahasiswa. Serta kertas plano, spidol, solasi sebagi alat kreatifitas mahasiswa untuk membuat peta konsep sebagai manifestasi hasil belajar. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Rencana Pelaksanaan Perkuliahan Kompetensi Dasar Memahami dasar-dasar akidah islamiy>yah. Indikator Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat 1. Menjelaskan dasar-dasar normative dan filosofis keimanan Islam 2. Mengidentifikasi masalah Ushul dan furu’ dalam Islam 3. Menganalisis kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 4. Menampilkan sikap inklusif dalam berakidah Waktu 3x50 menit Materi Pokok 1. Dasar-dasar normative dan filosofis keimanan Islam 2. Masalah Ushul dan furu’ dalam Islam 3. Kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam 4. Sikap inklusif dalam berakidah Kegiatan Perkuliahan Kegiatan Awal 20 Menit 1. Brainstroming dengan mencermati video mengenai dasar akidah islamiy>ah. 2. Memberikan gambaran tentang pentingnya mempelajari paket 2. Kegiatan Inti 100 menit 1. Membagi mahasiswa dalam 4 kelompok 2. Masing-masing kelompok mendiskuiskan sub tema a. Kelompok 1 dasar-dasarnormative dan filosofis keimanan islam b. Kelompok 2 konsep us}hul dan furu’ dalam islam c. Kelompok 3 kerangka berfikir aliran-aliran ilmu kalam d. Kelompok 4 Sikap inklusif dalam berakidah 3. Presentasi hasil diskusi masing-masing kelompok 4. Setelah selessai presentasi tiap kelompok, kelompok lain memberikan klarifikasi, tanggapan, sanggahan atau pertanyaan. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 5. Penguatan hasil diskusi 6. Dosen memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menyatakan sesuatu yang belum paham dan menyampaikan konfirmasi Kegiatan Penutup 20 Menit 1. Menyimpulkan hasil perkuliahan 2. Member dorongan psikologis, saran atau nasehat 3. Reflesksi hasikl perkuliahan oleh mahasiswa Kegiatan tindak lanjut 10 Menit 1. Member tugas latihan 2. Mempersiapkan perkuliahan selanjutnya Lembar Kegiatan Membuat Peta Konsep Mind Map Mengenai dasar-dasar akidah islamiy>yah. Tujuan Mahasiswa dapat memberikan gambaran/ konsep untuk membangun pemahaman dengan lebih mudah mengenai dasar-dasar akidah islamiy>yah melalui kreatifitas pengungkapan/ eksplorasi ide dari anggota kelompok yang dituangkan dalam bentuk Mind Mapping. Bahan dan Alat Kertas plano, spidol berwarna min 3 warna, dan solasi. Langkah Kegiatan 1. Pilihlah seorang pemandu kerja kelompok dan penulis konsep hasil kerja! 2. Diskusikan materi yang telah ditentukan dengan anggota kelompok! 3. Tuliskan hasil diskusi dalam bentuk peta konsep! 4. Tempelkan hasil kerja kelompok dipapan tulis/ dinding kelas! 5. Pilihlah satu anggota kelompok untuk presentasi! 6. Presentasikan hasil kerja kelompok dengan cara giliran, dengan waktu masing-masing kurang lebih 5 menit! Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Uraian Materi INTI AQIDAH ISLAMIAH A. Dasar-dasar Normatif dan Filosofis Akidah Dasar - dasar akidah Islam tidak lain adalah dasar dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits sunnah rasul. Akidah Islam disusun atas dasar dalil – dalil dari dua petunjuk itu. Di dalam Al-Qur’an banyak disebut pokok – pokok akidah, seperti nama – nama dan sifat - sifat Allah, tentang malaikat, kitab - kitab-Nya, hari kiamat, syurga, neraka, dan Mengenai pokok – pokok atau kandungan akidah Islam, antara lain, disebutkan sebagai berikut                                Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat - malaikat-Nya, kitab - kitab-Nya dan rasul - rasul-Nya. Mereka mengatakan “Kami tidak membeda – bedakan antara seseorang pun dengan yang lain dari rasul - rasul-Nya”, dan mereka mengatakan “Kami dengardan kami taat.” Mereka Dasar- Dasar Akidah Islamiyah berdoa “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”2 Adapun penjelasan dari masing-masing dasar aqidah Islam tersebut adalah sebagai berikut; 1. Al-Qur’an Al-Qur'an adalah puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan dasar pokok akidah Islam yang paling utama. Al-Qur’an menjelaskan tentang segala hal yang ada di alam semesta ini, dari yang jelas sampai hal yang ghaib termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ajaran pokok tentang keyakinan dan keimanan. Sedangkan dasar-dasar akidah yang harus diimani oleh setiap muslim di antaranya                              “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.3 2 285 3 QS. An- Nisa 136 Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 2. Al-Hadits Hadits adalah perkataan sabda, perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan landasan syariat Islam. Hadits dijadikan sumber hukum Islam selain al-Qur'an yang mana kedudukannya hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Dalam agama Islam, ditegaskan bahwa hadits adalah hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an, baik sebagai sumber hukum dalam akidah ataupun dalam segala persoalan hidup manusia. Hadits memiliki fungsi sebagai pedoman yang menjelaskan masalah-masalah yang ditetapkan di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum. Setidaknya ada dua alasan bahwa Hadits merupakan pedoman akidah Islam, yaitu a. Hadits yang bersumber dari Nabi Muhamad SAW, tidaklah semata-mata keluar dari hawa nafsu. Akan tetapi semata-mata berasal dari wahyu Allah SWT sebagaimana ditegaskan                “Dan tidaklah mengucapkan dari hawa nafsu. Tetapi yang diucapkan tidak lain hanya dari wahyu yang diwahyukan. Yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat”.4 Ayat tersebut berisi peringatan keras kepada orang-orang yang masih meragukan kebenaran Islam yang beliau sampaikan. Dengan adanya ayat tersebut, manusia diharapkan untuk memercayai Dasar- Dasar Akidah Islamiyah dengan sepenuh hati bahwa apa-apa yang diucapkan oleh Rasulullah SAW benar-benar berasal dari Allah SWT, bahwa Rasulullah SAW memiliki sifat shidiq benar. b. Allah SWT telah memberi petunjuk kepada manusia agar mengakui kebenaran yang disampaikan Rasulullah SAW. Sebagaimana firman-Nya                  “…apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”5 Apa-apa yang disampaikan Rasulullah SAW. kepada manusia adalah petunjuk hidup dari Allah SWT. Termasuk akidah Islam. Oleh karena itu, setiap orang yang mengaku beriman kepada Rasul wajib mengikuti akidah yang diajarkan Rasulullah SAW. B. MasalahUs}hu>l dan Furu’ 1. Makna us}hu>l dan furu’ Islam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu us}hu>luddin dan Furu’ud>din. Us}hu>luddin biasa disingkat us}hu>l, yaitu Ajaran Islam yang sangat prinsip, pokok dan mendasar, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam us}hu>l dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan Dasar- Dasar Akidah Islamiyah dalam us}hu>l adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang furu>’uddin biasa disingkat furu>’, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun tidak prinsip dan tidak mendasar, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam furu>’, karena perbedaan dalam furu’ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ada dalil yang bisa di pertanggung jawabkan secara syar’i. Penyimpangan dalam us}hu>l tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furu’ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati. 2. Contoh us}hu>l dan furu’ a. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra’ Mi’ra>j Rasulullah SAW adalah masalah us}hu>l, karena Dalilnya qot}h’i, baik dari segi wurud maupun dilalah. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’ra>j dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah furu’, karena Dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra’ Mi’ra>j Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari us}hu>l aqi>dah. Namun barang siapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra’ Mi’ra>j dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu aqidah. b. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah us}hu>l, karena dalilnya q}ot}h’i, baik dari segi wurud maupun dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama’ tanpa udzur, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban shalat lima waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari us}hu>l syari>’ah. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjama’ shalat tanpa ’udzur atau sebaliknya, maka selama memiliki dalil syar’i ia tidak sesat, karena masalah furu syari}’ah. c. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah ushul, karena Dalilnya qot}h’i, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama’ah, maka masuk masalah furu’, karena dalilnya z}honni, baik dari segi wurud mau pun dilalah. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari us}hu>l akhlaq. C. Kerangka Berfikir Aliran - aliran Kalam Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula. Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Syaikh Waliyullah Ad-Dahlawi tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengantakan bahwa perbedaan pendapat di dalam islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sabagai figur pembuat keputusan. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah Abdul Rozak dan Rosihan Anwar membagi metode atau kerangka berpikir secara garis besar ada dua macam, dan prinsip-prinsipnya, yaitu 1. Kerangka berpikir rasional a. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas desebut dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qat}h’i b. Memberi kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. 2. Kerangka berpikir tradisional. a. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti z}an>ni b. Tidak memberi kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat. c. Memberikan daya yang kecil kepada akal. d. Status sosialnya seseorang ditentukan oleh status orang tuanya dan umumnya oleh status keluarga besarnya extented family, suku. Dan status ini tidak atau sukar berubah, walaupun orang yang bersangkutan hidup seperti benalu parasit atau berbuat sesuatu yang Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah Mu’tazillah. Oleh karena itu, Mu’tazillah di kenal sebagai aliran yang besifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyah. Disamping pengategorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyeleasaikan persoalan-persoalan kalam 6Abuddin Nata. Ilmu Kalam, Filsafat, dan tasawuf. Jakarta Rajawali Pers, Cet. I, 1993. 59-60. Dasar- Dasar Akidah Islamiyah 1. Aliran Antroposentris Aliran Antroposentris mengangap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk meraih kemerdekaan pribadi naturalnya. Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap hakikat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah surga, sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula neraka. Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qodariyah, Mu’tazillah, dan, Syi’ah. 2. Teolog Teosentris Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat suprakosmos, personal, dan keturunan. Tuhan adalah pencipta segala yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Manusia adalah ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya. Di dalam kondisinya yang serba relatif, diri manusian adalah migran abadi yang segera akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, manusia harus mampu meningkatkan keselarasan dengan Dasar- Dasar Akidah Islamiyah realita tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaanya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula manusia akan menjadi sosok ang ideal, yang mampu memancarkan atribut - atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saat nanti akan menyelamatkan nasibnya dimasa yang akan datang. Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak Tuhan. Sikap kepasarahan menjadikan ia tidak mempunyai pilihan. Ailran teosentis menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan melalui perantara daya. Dengan perantaraan daya inilah , Tuhan mempunyai kehendak mutlak terhadap segala perbuatan manusia. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah Jabbariyah. 3. Aliran Konvergergensi atau Sintesis Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus nintra kosmos, personal dan impersonal, lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat lain yang dikotomik. Ibn Arabi manamakan sifat-sifat semacam ini dengan insijam al-azali/ preestabilis hed harmony. Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjali atau cermin asma dan sifat-sifat realitass mutlak itu. Bahkan, seluruh alam kosmos, termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang beragam. Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai penciptaan pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali. Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu serba ganda, baik secara subtansial maupun formal. Secara subtansial, sesuatu mempunyai nilai - Dasar- Dasar Akidah Islamiyah nilai batini, huwiyah, dan eternal qadim karena merupakan gambaran Al-Haq. Dari sisi ini, sesuatu tidak dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah pofan dan relatif. Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law hukum alam yang berlaku. Kesimpulannya, kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan dengan determinisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam ktegori ini adalah Asy’ariyah. 4. Aliran Nihilis Alran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi. Aliran ini
Iamengeluarkan hukum-hukum langsung dari al-Qur’an dan sunnah kemudian ia melakukan qiyas dan sebagainya. Ia tidak mengikut kepada orang lain, baik dalam ushul maupun dalam furu’. Oleh sebab itulah ia disebut dengan mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil atau mujtahid kamil (mujtahid yang sempurna).
Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ... Bismillaah Wal Hamdulillaah ... Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ... Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ... Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furu’uddin. Ushuluddin adalah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qoth’i yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan. Sedang Furu’uddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syar’i yang mu’tabar. Setiap perbedaan dalam Furu’ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai. Baik Ushuluddin mau pun Furu’uddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syar’i, Jika tidak ada Dalil Syar’i, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furu’. Karenanya, peranan Dalil Syar’i dalam Ushul dan Furu’ sangat penting dan amat menentukan. PERAN USHUL DAN FURU’ Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furu’uddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan. Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furu’. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furu’, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furu’. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furu’, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan. Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furu’ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furu’ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furu’, baik dalam soal Furu’ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furu’ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan. Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furu’, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furu’ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. NILAI HUJJAH Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syar’i kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qoth’i secara Wurud. 2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud. Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Ta’wil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qoth’i secara Dilalah. 2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah. METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furu’ secara singkat adalah sebagai berikut 1. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin. Contoh Firman Allah dalam ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, dan Qoth’i juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin. Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam. 2. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas ”Mautaa” merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Ta’wil, dimana kata ”Mautaa” bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya. 3. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Firman Allah dalam 43 dan 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah ”Laamastumun Nisaa” merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya ”menyentuh perempuan” dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya ”menggauli perempuan”, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu. 4. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qoth’i dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab. Contoh Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qoth’i secara Dilalah karena Mono Ta’wil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab. Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Mu’tazilah menolaknya, karena bagi Mu’tazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Mu’tazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur. Disini, Mu’tazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Mu’tazilah bukan Aswaja. USHUL FURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furu’ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furu’uddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furu’ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furu’ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furu’, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. CONTOH USHUL DAN FURU’ Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furu’ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Mu’tazilah, adalah masalah Furu’ Aqidah. b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jama’ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furu’ Syariah. c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata ”Sayyiduna” bagi yang pria dan ”Sayyidatuna” bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furu’ Akhlaq. USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan Inhiraf. Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan. Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya. Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul. Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furu’uddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan. Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya. KONSEKWENSI DUA USHUL Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk 1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan. 2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab. Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab 1. Kemakhluqan Al-Qur’an ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Mu’tazilah, dan sebaliknya Mu’tazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Mu’tazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. 2. Ta’wil Ayat Sifat ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak ta’wil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Ta’wil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Ta’wil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin 3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu ’anhum. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. KESIMPULAN Perbedaan Ushul dan Furu’ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut 1. Ushul berdasarkan dalil qoth’i, sedang Furu’ berdasarkan dalil zhonni. 2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furu’ tidak. 3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furu’ tidak. 4. Ushul harus disepakati, sedang Furu’ tidak mesti. 5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furu’ menerima. 6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furu’ ada yang bisa berubah. 7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furu’ tidak. 8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furu’ perbedaannya disebut Ikhtilaf. 9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furu’ perbedaannya harus dihargai. 10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furu’ perbedaannya melahirkan Madzhab. Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia USIM di Bandar Nilai – Malaysia dengan judul ”Manaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuu’ inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah” artinya ”Metodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Nurdin Marjuni dan Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Ta’aalaa.. Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam. Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ... Sumber ushulmaupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id Fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu ijtihad atau pembaruan pemikiran dalam masalah ibadah, muamalah, dan skala prioritas. Banyak kaidah fikih yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungannya lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini
Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathi’ Al-Adillah karya As-Sam’ani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, I’lam Al-Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafi’i yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata “Pembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syar’i pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam dan para tabi’in serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijma’, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dan hadits Mu’adz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushul”. [Majmu’ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau “Ma’alim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masa’il Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota hai’ah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhtha’ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furu’, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan ta’lil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut mu’tazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul “Aara’ Al-Mu’tazilah Al-Ushuliyah”. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafi’iyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan “Ilmu ini adalah produk orang-orang mu’tazilah” dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari ha’iah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebid’ahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam, Ijma’ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir “apakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?” Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fida’ Munadzir Abdul Lathif
Hakekatfikih menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya Garis-Garis Besar Fikih adalah: 1) Ilmu tentang hukum Allah swt., 2) Membicarakan hal-hal yang bersifat amaliyah furu‘iyyah, 3) Pengertian tentang hukum Allah swt. didasarkan pada dalil terperinci, dan 4) Digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih. Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan فإن أصول العقيدة هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره، وأما الفروع فهي ما يتفرع عن هذه الأصوال من المباحث العقدية. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. Naskahkecil ini penulis namakan Tiga Permata Agama Kajian Ushul dan Furu’ Surat al-Fatihah, sebuah kajian ilmiah berusaha untuk mencari deskripsi sebagai langkah kelanjutan belajar penulis dalam memahami perbedaan dan kesepakatan para ulama Ahlu Sunah wal Jama’ah dalam tiga pilar agama (akidah, syariat dan tasawuf) yang berkaitan dengan Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Menutup aurat adalah ushul. Celana di atas atau di bawah mata kaki adalah furu'. Pun, niqob adalah furu', jari bergerak atau tidak dalam sholat adalah furu', lutut dulu atau tangan dulu saat akan sujud adalah furu', janggut adalah furu', dan lain-lain yang furu' adalah furu'. Mendahulukan ushul daripada furu' lebih utamaMendiskusikan furu' tetap perlu selama tidak mengkudeta ushulTidak mengushulkan apa yang sebenarnya furu'Tidak memfuru'kan apa yang sebenarnya ushul Iman 'terendah' adalah membuang duri dari jalan'Terendah' adalah termudah Mengaplikasikan iman paling mudah adalah iman implementatifIman yang tidak hanya didiskusikan dan diperdebatkanIman yang bukan membabi buta menebar tuduh; kafir, musyrik, khawarij, murji'ah, dll kecuali bila benar adanyaMembuang duri dari jalan adalah imanIman yang peduli lingkunganMenjaga dan memelihara fasilitas jalan dan fasilitas umum lainnya adalah imanIman yang transformatifIman yang dijalani bukan yang semata diakuiIman yang karaos terasa bukan hanya iman yang kahartos dimengerti Apa yang sudah selesai pembahasannya oleh para ulama terdahuluYang sudah didiskusikan, diperdebatkan oleh mereka Rahimahumullahu Ta'alaOleh mereka yang jauh lebih berilmu daripada kita, sudahlahApa yang sudah disepakati sebagai furu' yang mereka saling menghormati dalam perbedaan dan bekerjasama dalam kesatuanTugas kita, implementasikan Islam, agar terasa Islam ini betapa nikmatnya, betapa nyamannya, betapa tenangnya.............Mari mulai membuang duri dan sampah dari jalanUshul = Pokok, Furu' = Cabang dari pokok. Para ulama telah bersepakat terhadap hal2 yang Ushul, para ulama berbeda pendapat terhadap beberapa perkara yang Furu'. Bila ulama saja berbeda pendapat terhadap beberapa hal yang furu', sementara mereka memiliki kafaah keilmuannya, anggap saja itu sudah selesai di antara mereka dan buat kita. Tugas kita, bahu membahu dalam perkara yang Ushul dan saling bertoleransi atas perkara yang furu'....maksudnya si ingin mengorelasikan bahwa persoalan khilaf furu' itu mestinya tdk dibesar2kan lagi, sebab bila itu dilakukan hanya akan mengulang dialektika yg sama dulu yg dilakukan para ulama. Mereka saja tidak selesai dan berakhir utk saling menghargai perbedaan dlm perkara furu'.. juga mereka tidak menyesal dan menyayangkan pihak lain yg berbeda dgn mereka dlm perkara furu'. Lanjutnya, saya ingin kita beralih focus, ke keislaman dan keimanan kita yg harusnya rahmatan lil 'alamin, dlm bentuk sprti apa Islam rahmatan lil'alamin? Apakah dalam bentuk terus berlelah-lelah memperdebatkan perkara furu' yg para ulama saja berbeda pandangan pada beberapa halnya? yang tidak jarang pula memunculkan konflik. Atau segera sadar bahwa bumi ini, alam ini, umat ini, bangsa ini, semua manusia sedang sangat menunggu dan membutuhkan sentuhan tangan kita atas konsep Iman kita yg agung dan luhur, untuk mulai mengimplementasikan bahwa bareng2, gotong royong memperbaiki jalan, menghijaukan bumi, hemat air dsb adalah Iman itu sendiri. Sebagian dari kita masih terjebak dalam berlarut-larut secara berlebihan memperdebatkan Dzat Allah, Allah tinggal di mana, misalkan. Hal ini penting tentu, hanya setelah menyampaikan penjelasan, cukup doakanlah, kemudian kerja-kerja-kerja- untuk umat secara real. Tidak lagi terpancing utk memperpanjang jidal dengan sebagian orang yang mencari-cari pembenaran bukan mencari kebenaran....Yang menanyakan terkait Isbal celana di bawah mata kai. Saya merasa dari keyakinan saya dari ilmu saya yang sederhana terkait hal tersebut bahwa isbal tanpa disertai rasa sombong laa ba’sa bih, tidak mengapa. Tentu saja asal jangan berlebihan sampai kainnya terseret-seret di tanah. seringkali saya juga pakai celana cingkrang kok…Begini saja- ini yang terakhir dari saya – Sikap saya terkait hukum celana ini; saya mengikuti pendapat ulama yang membolehkan mengenakan celana isbal tanpa disertai kesombongan. Namun saya amat sangat menghormati sekali kawan2 yang mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan isbal secara mutlak sombong maupun tidak sombong. Saya bahkan berada di lingkungan aktivitas yang sebagian besar aktivisnya bercelana cingkrang. Dan Alhamdulillah kami di sini baik-baik saja….Yang penting menurut saya terkait persoalan ini persoalan ISBAL itu hanya terkait dua hal pokok saja; yakni CELANA dan SOMBONG adalah faktor SOMBONG nya bukan faktor CELANA nya. Jelas bila dilihat dari sisi apapun, kesombongan jauh harus mendapatkan perhatian lebih dari kita daripada hanya’ sekedar celana. Bagi saya, yang akan memasukkan orang ke Neraka adalah SOMBONG bukan CELANA. Ada banyak riwayat yang menegaskan bahwa kesombongan yang merupakan hak Allah saja untuk sombong akan mengakibatkan pelakunya masuk Neraka. Saya belum pernah menemukan riwayat yang eksplisit, yang tanpa ada kemungkinan memalingkannya ke makna yang lain, menyebutkan bahwa CELANA akan memasukkan orang ke Neraka. Terkecuali bagi orang yang tidak mau – maaf – memakai celana karena dia meyakini bahwa menutup aurat itu tidak wajib, jelas dia bila tidak bertaubat akan dimasukkan ke dalam Neraka. Jadi persoalan CELANA ini mesti ada backgroundnya. Karena bila hanya soal CELANA saja tanpa ada kaitannya kepada apapun, Islam ini tidak akan disebut sebagai agama yang adil dan rasional. Di jaman Jahiliyyah, tanda dan standar orang kaya, terhormat dan bangsawan itu adalah dengan panjangnya pakaian yang mereka kenakan. Bahkan harus sampai dipegang oleh dayang2 dan budak2nya. Rasulullah bermaksud menghapus dan menghilangkan sikap sombong dan takabbur seperti ini. Karena sifat SOMBONG itu amat sangat berbahaya, takabbur adalah sifat Iblis, sangat berbahaya terhadap aqidah dan keimanan. Maka dengan keras Rasulullah melarangnya dengan ancaman Neraka.[Bila diskusi ini dipanjangkan akan sangat panjang, bila dipendekkan akan cukup pendek… cukupkanlah membaca keterangan para ulama dari kedua belah pihak, kemudian ambil yang menurut kita paling dimengerti. Peganglah itu kuat-kuat sambil tetap menghargai pihak yang berbeda dengan kitaDan saya lebih cenderung dalam perkara ini kepada istinbathul ahkam yang memiliki landasan kaidah ushul Hamlul Muthlaq ilal Muqoyyad.’ Demikian. Saya mohon maaf bila keterangan ini tidak memuaskan. Mohon doakan saya agar m endapatkan kejernihan berpikir sehingga mampu untuk memilah perkara furu’ yang menjadi khilaf bainal ulama dan memilih yang diperkirakan lebih menetapi kebenaran….. -*diskusi di pasebuk Lihat Pendidikan Selengkapnya 3a5Ug.
  • c0ehebkfk2.pages.dev/45
  • c0ehebkfk2.pages.dev/98
  • c0ehebkfk2.pages.dev/98
  • c0ehebkfk2.pages.dev/162
  • c0ehebkfk2.pages.dev/397
  • c0ehebkfk2.pages.dev/57
  • c0ehebkfk2.pages.dev/326
  • c0ehebkfk2.pages.dev/277
  • c0ehebkfk2.pages.dev/258
  • ushul dan furu dalam aqidah